Tak hanya pantainya yang menawan, Pulau Morotai memiliki banyak sisi menarik untuk dinikmati.
Provinsi Maluku Utara (Malut) sebagian besar terdiri kawasan perairan. Maklum, provinsi yang baru dimekarkan pada 12 Oktober 1999 silam ini merupakan daerah kepulauan. Jumlah pulaunya mencapai 395 buah yang terdiri dari pulau besar dan kecil. Namun dari jumlah itu, hanya 64 pulau yang berpenghuni. Sisanya, hanya ditumbuhi berbagai jenis pepohonan dan didiami oleh aneka satwa.
Satu di antara pulau-pulau itu adalah Pulau Morotai. Pulau yang berada
di Kabupaten Halmahera Utara ini merupakan salah satu batas terluar
wilayah Indonesia bagian utara. Letaknya berdekatan dengan bagian
Selatan Filipina. Luas Pulau Morotai sendiri hanya 2.476 kilometer
persegi.
Sayang, tak banyak orang di luar Malut yang mengenal secara mendalam
pulau ini. Padahal Pulau Morotai memiliki arti penting dalam catatan
sejarah dunia. Ya, di sinilah Panglima Divisi VII Amerika Serikat (AS)
Jenderal Douglas MacArthur mengonsolidasikan ratusan ribu pasukannya
untuk melancarkan serangan balasan terhadap seluruh kepentingan Jepang
di Filipina dan Korea dalam era Perang Dunia II (1941-1945).
Sejarah mencatat, Jenderal MacArthur dan pasukannya dipukul mundur dari
Filipina pada 1942 oleh tentara Jepang. Sesaat hendak meninggalkan
Filipina, MacArthur mengucapkan sumpah yang sangat terkenal. ''I shall
return (saya akan kembali),'' ujarnya waktu itu. Sebelum kembali ke
Filipina, MacArthur memilih Pulau Morotai sebagai tempat berstrategi.
Bahkan setelah merebut kembali Filipina dari tangan Jepang, MacArthur
juga menjadikan Pulau Morotai sebagai pangkalan pasukannya. Di sinilah
ia berupaya menyerang pertahanan Jepang di Iwojima dan Okinawa.
Keberadaan MacArthur bersama pasukan Divisi VII AS dan sekutunya di
Morotai memang hanya beberapa bulan. Meski singkat, kehadiran MacArthur
tetap meninggalkan jejak. Dan jejak-jejak itu masih bisa kita saksikan
hingga saat ini. Seorang pria tua yang ditemui/Republika di Morotai
bercerita, ia masih berusia delapan tahun ketika pasukan MacArthur
beroperasi di pulau ini. Saat itu, Pulau Morotai yang biasanya sepi,
mendadak ingar-bingar oleh suara desingan pesawat. Hingga saat ini pun,
pria itu masih ingat benar bagaimana suara-suara lesatan pesawat
tersebut.
Di pulau ini pasukan zeni MacArthur dan sekutunya membangun 12 landas
pacu pesawat tempur. Tujuh di antara landasan itu dibangun dengan cara
mengeraskan batu-batu karang bercampur minyak hitam. Sisanya dipasangi
air strip atau pelat besi berlubang berukuran 1,5 x 0,5 meter. Ketujuh
landasan yang hingga kini populer dengan sebutan Pitu Strip itu masih
digunakan pemerintah Indonesia sebagai pangkalan TNI Angkatan Udara
(TNI-AU).
Selain jejak Jenderal MacArthur, masih banyak hal yang bisa disaksikan
dan dinikmati ketika Anda mengunjungi pulau ini. Salah satunya adalah
panorama alam yang menawan. Di sekeliling Pulau Morotai tampak hamparan
pantai yang belum terjamah industri pariwisata modern. Meski pulau ini
sudah dipenuhi penduduk, warga seolah menyadari betapa pentingnya
menjaga kebersihan pantai. Alhasil, pantai Morotai terlihat cantik dan
alami dengan lambaian pohon nyiur di bibirnya.
Pulau Morotai tak hanya memiliki keindahan pantai. Sebagaimana
kunjungan Republika baru-baru ini, di pulau ini juga terdapat danau
kecil yang dikelilingi batu karang. Luas danau ini hanya sekitar empat
kali kolam renang plastik ukuran besar yang biasa digunakan oleh
anak-anak. Daya tarik danau ini adalah tempatnya yang sejuk karena
terlindung dari terik matahari. Di sana juga terdapat sejumlah kotak
menyerupai bak mandi. Masyarakat setempat menyebut danau itu sebagai
Air Kaca lantaran bila berdiri di atas karang, bentuknya mirip kaca
cermin.
Bahkan, air pada salah satu bak yang agak menjorok ke bawah karang,
terlihat sangat jernih. Kejernihannya tampak ketika botol air mineral
diisi dengan air dari bak itu. Tak ada sedikit pun bintik-bintik putih
atau kotoran lain di dalam air itu. Dan saat diminum, hmmm ... segar
sekali. Tak ubahnya seperti meminum air dari dalam kendi. Dingin dan
menyegarkan! Menariknya lagi, di bagian belakang danau, terdapat karang
dengan tiga lubang besar. Lubang-lubang itu terhubung dengan bangunan
di balik karang lainnya. Konon, bangunan itu menjadi tempat tinggal
MacArthur. Kamar pribadi jenderal ini terhubung dengan gua karang
tersebut. Sayang, tempat tinggal MacArthur itu, sudah tidak dapat
disaksikan lagi.
Pulau Dodola dan Zumzum
Berkunjung ke Pulau Morotai, tentu belum lengkap bila tak datang ke
Pulau Dodola dan Pulau Zumzum. Kedua pulau ini seolah menjadi satelit
pelengkap keindahan Pulau Morotai. Pulau ini bisa dijangkau hanya dalam
waktu 15 menit dengan menaiki speedboat dari Pulau Morotai. Panorama
pantai Pulau Dodola tak kalah cantik dibanding Pulau Morotai.
Pantai-pantai di sini juga masih asri lantaran sangat jarang dikunjungi
wisatawan. Pulau Dodola terdiri dari dua pulau kecil yang terhubung
oleh hamparan pasir putih. Kedua pulau kecil ini memiliki keunikan
tersendiri. Suhu air pantai di kedua pulau itu selalu berganti-ganti.
Tatkala suhu air di pantai yang satu sejuk, di pantai lainnya justru
lebih hangat.
Tak hanya itu, harmonisasi warna air di kedua pantai itu juga
memancarkan keindahan. Riak-riak ombak yang berkejaran menuju pantai,
selalu tampil dengan paduan warna hijau, biru, dan ungu. Menurut warga
setempat, keunikan ini diakibatkan ganggang laut yang beraneka warna
memenuhi dasar pantai. Pantai yang landai dengan pasir putihnya serta
air laut yang masih bersih sangat menggoda hasrat siapa pun untuk
berenang. Tak perlu takut kepanasan. Sebab, di pinggir-pinggir pantai
terdapat berbagai jenis tumbuhan yang siap melindungi tubuh dari
sengatan sinar matahari.
Dari Pulau Dodola, perjalanan untuk menikmati keindahan kawasan Morotai
makin terasa lengkap setelah berada di Pulau Zumzum. Menggunakan
speedboat, dibutuhkan waktu sekitar 15 menit untuk sampai ke pulau ini
dari Pulau Dodola. Pulau Zumzum kurang lebih berukuran dua kali luas
Pulau Dodola. Pulau Zumzum kini menjadi lahan perkebunan kelapa warga
Pulau Morotai. Hal ini dimungkinkan karena Pulau Zumzum tak
berpenghuni.
Tak hanya di Pulau Morotai. Jenderal MacArthur juga meninggalkan jejak
di Pulau Zumzum. Sejarah mencatat, pulau ini juga dijadikan basis oleh
MacArthur untuk menebus kekalahannya atas Jepang. Di sini, ia membangun
sebuah bunker serta sebuah kapal tongkang di atas Selat Halmahera.
Tongkang ini sengaja terendam di dalam air, sehingga ia dan pasukannya
bisa menyeberang ke pulau di sebelahnya.
Di Pulau Zumzum, MacArthur juga membangun tempat persembunyian, yakni
sebuah bangunan berbentuk rumah di atas karang. Pada bagian bawah kamar
rumah itu, MacArthur sengaja memecah karang untuk jalur keluar menuju
hutan. Panjang jalur itu sekitar 30 meter sehingga bentuknya mirip gua
di tengah hutan luas. Pembuatan jalur itu dimaksudkan agar ia bisa
memiliki akses untuk melarikan diri, kapan saja.
Peninggalan sejarah ini melengkapi keindahan pantai, birunya laut, dan
hijaunya tumbuhan di Pulau Morotai dan pulau-pulau kecil di
sekelilingnya. Percayakah Anda, di pulau-pulau ini, mata seolah ingin
terus membelalak karena takut kehilangan momen terindah yang muncul
silih-berganti. Karena semua keindahan itu, tak berlebihan jika pulau
terpencil ini dipuji sebagai hidden paradise in east Indonesia, surga
yang tersembunyi di Indonesia bagian Timur. (ria)
Sumber :
Republika Online
10 September 2006, dalam :
http://groups.google.com/group/alt.soc.indonesia.mature/msg/c19ba846981bc60c?pli=1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar