Sabtu, 05 Februari 2011

Menelusuri Jejak McArthur di Morotai

Ketiadaan informasi yang memadai membuat saya ‘buta’ saat menginjakkan kaki di Morotai. Hanya berbekal ‘pulau penuh peninggalan perang dunia kedua’ saya nekad ke sana. Ternyata Morotai pulau panas yang eksotis. Sayang dilewatkan begitu saja.

Nama Morotai menarik minat saya saat seorang sopir oto menanyai tujuan seorang ibu yang turun dari speedboat di dermaga Sofifi. Hari itu, 6 Juni 2010, saya tinggalkan dermaga Kota Baru Ternate pagi-pagi, melaju dengan speedboat selama satu jam menuju Sofifi, Halmahera. Tujuan awal saya Tobelo, kota di Halmahera Utara. Mendengar kata Morotai disebutkan ibu tadi, saya jadi ingin menyeberang ke Morotai.


Perjalanan dari Sofifi menuju Tobelo ditempuh selama 3 jam, menyusur pantai timur Halmahera. Dengan oto, ongkosnya Rp 75.000. Lumayan mahal. Saya duduk di bangku belakang ujung kanan LUV terbaru berpenumpang 6 orang. Mata saya pedih, sinar mentari tepat mengenai mata saya. Apalagi semalam saya begadang. Pemandangan hijau dan indah sepanjang perjalanan tak cukup menghibur.

Setelah istirahat makan di Malifut, kami memasuki Tobelo tengah hari. Turun di pelabuhan, saya langsung mencari kapal. Tapi feri ke Morotai baru saja berangkat. Dua penumpang lelaki pun lunglai meninggalkan pelabuhan. Saya coba bertahan, ditemani empat penumpang lain. Mereka hendak pulang ke Morotai.

“Kita tunggu di sini aja Kak, siapa tahu ada speed yang jalan,” ujar perempuan di samping saya. Suasana pelabuhan Tobelo mirip Tanjung Perak di Surabaya. Bangunannya penuh peti kemas, sangar, dingin. Hanya di sini lebih lengang dan nggak ada calo, apalagi pengemis atau pengamen.

Setengah jam kemudian kami dipanggil tukang speedboat. Disuruh menunggu di sebuah kapal. Tak berapa lama speed pun jalan, karena sudah ada 9 penumpang. Ongkosnya yang Rp 50.000 per orang dianggap cukup untuk membeli solar.

Butuh waktu 1,5 jam melalui Morotai, melalui belasan pulau-pulau kecil. Ada pulau yang cukup dihuni 2 pohon kelapa, ada pulau seukuran pekarangan sebuah rumah, semua berpasir putih. Saya bayangkan pulau-pulau seperti inilah yang menarik wisatawan asing dan membuat mereka nekad membelinya. Pulau pribadi!

Dikisahkan oleh teman di Galela, ada tiga pulau terapung yang berpindah-pindah tempat antara perairan di dekat Galela pesisir dan Morotai. Kadang pulau itu mendekati pantai Galela, kadang menjauh. Keberadaannya tak tetap. Yang melihatnya menjuluki pulau siluman. Salah satu pulau itu saya lihat dari speedboat, pulau yang dihuni dua pohon kelapa.

Laut tenang siang itu. Kami pun tertidur dengan nyaman. Saya sempat berkali-kali mimpi buruk. Speed terbalik karena diterjang ombak besar. Halusinasi mungkin, akibat begadang semalam dan terlalu banyak ngopi. Ketika pemilik speed meminta ongkos, legalah saya. Morotai sudah dekat lagi.

Morotai ternyata panas, karena tepat di garis khatulistiwa. Begitu menginjakkan kaki di dermaga, sadarlah saya tak punya bekal informasi yang cukup tentang pulau satu ini. Tak ada peta, tak disebutkan dalam lembar lonely planet secara detil. Yang saya ingat inilah pulau yang dijadikan basis militer sekutu, khususnya pasukan Amerika, dalam menggempur pasukan Jepang dalam PD II. Walau buta, hati saya riang. Saya suka Morotai. Pantainya indah, bersih, berpasir putih, dan belum terjamah.

Saya berlari sepanjang dermaga yang panjang, motret sana-sini. Sementara penumpang speed terakhir sudah menghilang dibawa ojek entah kemana. Akhirnya saya putuskan berjalan kaki, melalui pasar di pinggir pelabuhan, lalu lurus mendaki. Pura-pura tak peduli. Tiba-tiba seorang lelaki, berpakaian tentara, yang menyapu di depan kantornya, menegur saya. “Ci mau kemana?” Obrolan pembukanya bagai titik terang. Saya bisa bertanya ini-itu.

Kantor batalyonnya menghadap ke sebuah gereja. Tua. Nampak rusak. Bobrok. Buah Hati Kudus namanya. Ada tanya. Kenapa bisa rusak begitu dan tak diperbaiki. Ada keinginan mengabadikannya.

Pak tentara yang pernah 26 tahun tugas di Nabire, Papua ini lalu meminjamkan keponakannya, tukang ojek, untuk membawa saya keliling Morotai. Tengah hari, pukul 14.00, saat panas-panasnya, saya keliling Morotai. Banyak yang mau saya lihat, terutama peninggalan tentara sekutu di sana. Ada dermaga tua, ada transmeter air kaca, juga sebuah meriam yang tak utuh lagi. Sempat kami menuju bandara, tapi dilarang petugas lanud di sana untuk motret. Pangkalan militer. Tertutup bagi umum. Tapi saya tidak menyerah, menyelip di sela jalan menuju bandara untuk mengambil gambar sekedarnya.

Sayang tak banyak lagi yang tersisa dari PD II. Bangkai kapal selam sudah banyak yang diangkat. Meriam-meriam, tank-tank, dan semuanya bersih diangkut Herlina, Pahlawan Trikora, untuk dijual sebagai besi tua. Sisa-sisa besi tua ini disulap menjadi beragam alat perhiasan yang disebut besi putih, dan banyak dijual di Ternate.

“Paling kakak bisa menuju Pulau Sumsum, sewa ketinting dari sini. Di sana sedang dibuat patung McArthur,” kata tukang ojek, mencoba menghibur. Saya mengiyakan. Ada juga Pulau Langere-ngere, tempat budi daya mutiara. Satu dua industri perhiasan dari besi putih ada di sebalik pulau lengkap dengan rongsokan besi tua kapal selam.

Dalam kepanasan dan keputusasaan menyusuri jejak McArthur, saya menemukan hal lain. Gereja-gereja yang rusak, puing-puing rumah yang menyemak, sia-sisa kerusuhan agama sepanjang 1999-2002. Saya tanya tukang ojek itu. “Kamu di sini selama kerusuhan itu?”

“Iya Kakak, saya masih dua SMA ketika itu,” jawabnya lirih.

“Apa yang kamu lihat? Seramkah..”

“Aaih.. begitulah, aih.. gimana ya, aih..aih”

Lelaki itu tak mampu berucap. Kehabisan kata. Wajahnya yang merah terbakar nampak pias. Ada kengerian di matanya.

“Kak, semak yang kita lalui tadi itu dulu pernah jadi pemukiman penduduk. Tapi rumah dan penghuninya habis saat kerusuhan.”

“Kenapa tak dibangun lagi?” tanya saya ingin tahu. Teringat saya onggokan gereja tadi.

“Itu tanah orang. Yang punya telah dibantai, takkan torang tinggal dekat situ to.”

Saya tercekat. Kami lalu melalui gereja sederhana. Dari kayu. Juga rumah-rumah penduduk yang sangat sederhana. Laju motor menembus kampung yang ramai, ada masjid bagus di sana. Mayoritas penghuni Morotai memang muslim. Umumnya orang keturunan Ternate, Galela dan Tobelo. Bahasa yang mereka gunakan pun campuran ketiga bahasa daerah tersebut, ditambah bahasa pasar, bahasa sehari-hari maluku utara.

Orang-orang di kampung sangat ramah. Yang perempuan sibuk mencari kutu saat siang, yang lelaki bekerja di kebun. Ada sedikit persawahan di bagian timur, juga cengkeh, pala, dan jagung. Tanah umumnya kerontang. Meranggas. Listrik tak selalu menyala. Sinyal HP hanya milik telkomsel, itu pun hanya di dekat dermaga.

Nelayan hanya berada di sepanjang dermaga. Tak banyak. Ikan tore dan cakalang banyak dijual. Senang sekali melihat nelayan membawa hasil tangkapannya sore itu. Mungkin hanya ikan yang murah di sini. Hampir semua bahan pokok diambil dari Tobelo yang sudah dua kali lipat harganya.

Walau menyengat, Morotai eksotis. Pantai-pantainya berpasir putih. Terumbu karangnya utuh, kecuali di bagian bangkai kapal selam PD II diambil. Hanya dengan mata telanjang kita bisa menembus kedalaman laut yang menghijau oleh terumbu karang. Tapi bulu babinya banyak. Salah menginjakkan kaki bisa panas sekujur tubuh.

Malam itu saya menginap di Losmen Tonga. Mahal buat ukuran penginapan sederhana. Tak ada kipas angin, berkali-kali mati lampu, dan banyak nyamuknya. Tiba-tiba saya teringat kawan yang mewanti-wanti tentang Malaria. Tapi saya pejamkan mata juga. Siapa tahu berjumpa hantu Douglas McArthur, walau dalam mimpi. Lumayan kan? (Ary Amhir)

Sumber :
http://travel.kompas.com/read/2010/06/19/17094017/Menelusuri.Jejak.McArthur.di.Morotai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar